Tabel Identifikasi Foto
Udara Pankromatik Hitam Putih
Wilayah Upper Wonogiri
Objek
|
Identifikasi
|
Topografi
|
Datar
|
Berombak
|
|
Bergelombang
|
|
Perbukitan
|
|
Pola
Aliran
|
Tidak
ada
|
Kerapatan
Drainase
|
<0,3
(halus)
|
Tekstur
aliran
|
Halus
|
Pola
vegetasi
|
Mengelompok
berasosiasi dengan permukiman
|
Bentuk
penampang aliran
|
bentuk
"U"
|
Litologi
|
Aluvium
(daerah datar-landai)
|
Andesit
(daerah berombak-berbukit)
|
|
Iklim
|
Tropis
|
Struktur
Geologi
|
Tidak
ada
|
Kerekayasaan
|
Tidak
ada
|
Tanah
|
Aluvial,
Litosol
|
ALAT
DAN BAHAN
1.
Stereoskop cermin
2.
Foto udara pankromatik hitam-putih skala
1:10.000 daerah upper wonogiri (nomor foto 455 dan 456)
3.
Plastik
transparansi, pencil OHP dan alat tulis lainnya
CARA KERJA
1. Menempatkan 2 foto udara pankromatik
(1 pasang) di bawah stereoskop cermin sedemikian rupa hingga diperoleh gambar 3
Dimensi.
2.
Menempatkan plastik transparan diatas salah satu foto
citra udara.
3.
Menggambar jaring-jaring / alur-alur sesuai foto udara
pankromatik yang terlihat pada strereoskop di atas plastik transparan dengan
menggunakan pencil OHP.
4.
Mengamati dan mengenali seluruh satuan bentuk lahan
dan fenomena geomorfologi yang tergambar pada citra udara.
5. Mengenali
masing-masing genesa bentuk lahan dan merinci lebih lanjut ke dalam satuan
bentuk lahan
I.
DASAR TEORI
Bentuklahan (landform) merupakan bentukan pada
permukaan bumi sebagai hasil perubahan bentuk permukaan bumi oleh proses-proses
geomorfologi yang bekerja pada permukaan bumi tersebut. Untuk dapat menyajikan
informasi bentuklahan perlu dilakukan klasifikasi kedalam satuan-satuan
bentuklahan. Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan bentanglahan yang kompleks
yang terdapat pada permukaan ke dalam satuan-satuan yang sederhana yang
didasarkan pada kesamaan sifat dan perwatakan bentuklahan (Dibyosaputro, 2001).
Pada praktek pemetaan bentuklahan ini, kesamaan sifat dan perwatakan dapat
disederhanakan dalam hal :
1.
Konfigurasi permukaan yang mencakup kesan
topografi seperti dataran, berombak, bergelombang, perbukitan, pegunungan, dan
ekspresi topografi yang menekankan pada ukuran seperti kemiringan lereng,
bentuk lereng, panjang lereng, beda tinggi/relief dan bentuk lembah.
2.
Struktur geologi dan jenis batuan/material
3.
Proses geomorfologi yang menyebabkan
terjadinya bentuklahan beserta perubahannya
Terdapat 3 kriteria untuk identifkasi
dan pengenalan bentuklahan Verstapen (1977) yaitu :
1.
Bentuk atau relief, dapat diamati pada
stereoskopis karena citra terlihat dalam bentuk 3 dimensi sehingga relief
tampak lebih jelas dan memudahkan dalam pengamatan.
2.
Density, perbedaan densitas tampak dari warna
yang mewakili objek yang terdapat pada citra, misalnya dataran yang tertutup
vegetasi dengan dataran yang terbuka akan memiliki perbedaan rona, hal ini juga
berlaku unuk kenampakan area yang lebih basah dengan area yang lebih kering.
3.
Lokasi, Pengamatan lokasi dapat diartikan
sebagai situasi ekologi pada area yang diinterpretasi. Tutupan ekologi
permukaan tanah yang terlihat melalui citra dapat dijadikan pendekatan untuk
mengasumsikan fenomena yang berada dibawahnya terkait dengan jenis tanah atau
tipe batuan.
Dalam menginterpretasikan bentuklahan
terdapat tiga pendekatan pokok yang dapat digunakan, yaitu:
1.
Pendekatan pola, memilih salah satu wilayah
sebagai satuan bentanglahan utama kemudian dirinci berdasarkan bentuk, alur,
drainase, erosi serta vegetasi dan bentang budaya.
2.
Pendekatan geomorfologis atau fisiografis,
pemilahan wilayah didasarkan pada genesis atau asal mula proses terbentuknya.
3.
Pendekatan unsur atau parameter bentuklahan,
yaitu mempertimbangkan bentuk atau relief, density atau rona/warna, dan lokasi
atau situasi ekologi bentanglahan.
Dasar-dasar yang dapat digunakan untuk
mengenali dan menggolongkan bentuklahan dan bentanglahan pada citra adalah :
1. Topografi
2. Pola-pola
pengaliran (drainase)
3. Tekstur
pengaliran
4. Tipe parit (gully
types)
5. Rona citra
dan tekstur citra
6. Pola vegetasi
7. Pola tata
guna lahan
Ada 10
klasifikasi bentuk lahan berdasarkan genesisnya, Verstappen (1983), yaitu :
1.
Bentuklahan asal struktural.
2.
Bentuklahan asal vulkanik.
3.
Bentuklahan asal denudasional.
4.
Bentuklahan asal fluvial.
5.
Bentuklahan asal marine.
6.
Bentuklahan asal glasial.
7.
Bentuklahan asal aeolian.
8.
Bentuklahan asal solusional.
9.
Bentuklahan asal organik.
10.
Bentuklahan asal antropogenik.
II.
PEMBAHASAN
Praktikum pada modul I
ini bertujuan untuk belajar mengidentifikasi suatu bentuklahan dari data
penginderaan jauh. Dalam praktikum ini data yang digunakan adalah foto udara
pankromatik hitam putih daerah Wonogiri. Foto udara pankromatik hitam putih
merupakan salah satu sumber data yang dapat digunakan dalam pemetaan
geomorfologi.
Interpretasi foto udara
pankromatik hitam putih dapat dilakukan dengan cara monoskopis maupun dengan
cara stereoskopis. Pengamatan stereoskopis menggunakan foto udara pankromatik
hitam putih berpasangan sehingga memberikan visualisasi 3D yang mempermudah
dalam identifikasi litologi, morfologi, proses geomorfologi serta penutup &
penggunaan lahan.
Parameter utama yang
digunakan dalam pemetaan geomorfologi diantaranya adalah relief, pola aliran,
dan vegetasi. Parameter ini dapat dilengkapi lagi dengan parameter lainnya
sebagai pendukung pengamatan seperti tekstur aliran, pola penggunaan lahan,
rona/warna, bentuk penampang aliran, iklim, struktur geologi, dan kerekayasaan.
Pengamatan parameter tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi
karakteristik bentuk lahan yang lebih rinci. Berikut hasil interpretasi yang
sudah dilakukan :
A. Topografi
Dari
Foto udara pankromatik hitam putih daerah Wonogiri (nomor foto 455 dan 456) di interpretasikan secara umum
terbentuk 3 relief diantaranya;
berbukit, lembah dan datar. Relief dengan pola berbukit berkembang di bagian selatan
hingga barat daya,
sedangkan relief datar-landai terdapat pada bagian barat, utara dan
timur.
B. Morfologi
Daerah
Wonogiri (nomor foto 455 dan 456) merupakan
daerah yang memiliki morfogenesis fluvial tampak dari asosiasi antara sungai
dengan dataran disekitarnya dan morfogenesis denudasional yang tampak dari
adanya area yang memiliki morfologi bergelombang-perbukitan. Akibat aktivitas
fluvial yang dominan pada daerah ini, daerah ini cenderung bermorfologi
datar-berombak dan tersusun dari material aluvium. Sedangkan perbukitan yang
memiliki morfologi bergelombang-perbukitan tersusun dari litologi andesit.
C. Litologi/Geologi
Materi
penyusun atau litologi dapat ditentukan melalui topografi dan pola alirannya.
Pada daerah yang datar/landai litologinya adalah berupa tanah baru/belum
berkembang. Pada daerah dataran banjir, dataran alluvial dan abandoned valley
dimungkinkan ditemui tanah-tanah yang berasal dari material aluvium yang
ditransportasikan oleh aliran sungai dari daerah hulu dan diendapkan di daerah
ini. Tanah yang ditemui pada daerah dataran banjir, dataran alluvial dan
abandoned valley cenderung tebal akan tetapi belum terbentuk horizon tanah
melainkan hanya lapisan tanah. Sedangkan pada perbukitan, tanah yang mungkin
ditemui juga berupa tanah muda/belum berkembang dengan material induk dari
batuan andesit yang lapuk. Tanah yang ditemui di derah perbukitan tipis akibat
proses erosi yang dominan.
D. Bentuklahan
Bentuklahan
yang terbentuk dapat diperinci sebagai berikut :
1.
Perbukitan Terkikis (denudasional)
Perbukitan terkikis
ini merupakan hasil dari proses geomorfologi denudasional, yaitu proses pelapukan, gerakan tanah, erosi dan
kemudian proses pengendapan. Tingkat pengikisan pada masing-masing perbukitan
berbeda-beda, hal ini dipengaruhi tingkat resistensi batuan pembentuknya. Pada
daerah ini, perbukitan terkikis dalam 3 kelompok, yaitu perbukitan terkikis
tinggi, perbukitan terkikis sedang dan perbukitan terkikis rendah.
2.
Dataran Aluvial
Bentuklahan yang
terbentuk dari proses geomorfologi fluvial, berupa dataran yang terbentuk
akibat endapan yang terbawa oleh aliran sungai. Pola aliran sungai pada
bentuklahan ini adalah paralel dengan kerapatan vegetasi yang mengelompok.
Penggunaan lahan yang dominan dijumpai pada bentuklahan ini adalah pemukiman.
E. Proses
Geomorfologi
Proses
geomorfologi dapat dilihat dari parameter bentuk relief, pola aliran, dan
vegetasi serta parameter pendukung seperti tekstur aliran, pola penggunaan
lahan, rona/warna, bentuk penampang aliran, iklim, struktur geologi, dan
kerekayasaan.
1. Relief, dapat dikaitkan dengan bentuk
igir, lereng, dan lembah. Kenampakan igir, lereng, dan lembah ini dideliniasi
kemudian digunakan untuk membantu pengamatan parameter lainnya seperti pola
aliran, tekstur aliran, dan vegetasi. Daerah Wonogiri ini secara umum dapat
dikenali tiga jenis relief yang terbentuk diantaranya; berbukit, lembah dan
dataran. Relief dengan pola berbukit berkembang di bagian timur hingga ke
utara, sedangkan relief datar dan landai terdapat pada bagian barat laut.
2. Pola aliran sungai, tidak dapat
diidentifikasi karena hanya terdapat beberapa lembah sungai yang
teridentifikasi dari pengamatan stereoskopis foto udara pankromatik hitam putih
daerah Wonogiri. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa daerah
ini memiliki kerapatan drainase halus (<0,3). Lembah sungai yang
teridentifikasi memiliki lembah berbentuk U yang menunjukkan kekuatan erosi
horizontal hampir sama dengan kekuatan erosi vertikal. Pola vegetasi
mengelompok, bentuknya teratur dan berasosiasi dengan permukiman.
3. Vegetasi, pada area kajian dapat diasumsikan bahwa
kerapatan vegetasinya yang mengelompok terdapat pada area bagian utara, dan
barat dimana penggunaan lahan yang dominan adalah pemukiman.
4. Litologi, dapat ditentukan dengan cara
melihat topografi dan pola alirannya. Pada daerah yang datar/landai litologinya
adalah aluvial dengan bentuk lembah U dengan igir membulat menandakan daerah
ini kurang resisten.
Pengamatan
secara keseluruhan pada proses geomorfologi adalah proses denudasional yang
masih terkontrol oleh proses struktural. Sedangkan pada sebagian kawasan
lainnya (sebelah utara) terjadi proses fluvial.
Pengamatan menunjukkan banyak terdapat igir dan lembah yang terbentuk
dari proses geomorfologi struktural. Pembentukan igir dan lembah ini terjadi
dari pengangkatan permukaan bumi yang dipengaruhi oleh tenaga endogen.
F. Tanah
Pengamatan
jenis tanah sebenarnya tidak cukup hanya berdasarkan interpretasi viasual pada
foto udara pankromatik hitam putih saja. Namun sudah cukup mampu untuk
merepresentasikan proses lithologi yang terjadi dengan mengamati pola vegetasi,
penutup lahan, bentuk igir, bentuk lereng, dan bentuk lembah. Penentuan jenis
tanah dengan interpretasi visual ini mengacu pada ketentuan yang ditulis dalam
tabel jenis tanah utama di Indonesia dan ciri-ciri pokoknya (Supraptoharjo,
1960).
Penentuan
jenis tanah dengan menggunakan interpretasi visual foto udara pankromatik hitam
putih diperoleh 2 jenis tanah yang berkembang yaitu aluvial dan litosol.
Aluvial berkembang pada satuan bentuk lahan fluvial dengan relief datar-landai.
Materi aluvial ini berasal dari angkutan air permukaan dan sungai yang mengarah
dari tempat dengan elevasi tinggi ke arah tempat dengan elevasi rendah.
Pengangkutan materi ini menyebabkan penimbunan sehingga terbentuk dataran
dengan material yang relatif halus dan berlapis-lapis. Litosol berkembang pada
bentuk lahan perbukitan denudasional. Litosol memiliki lapisan solum tebal dan
berkembang pada perbukitan yang mengalami pengikisan sedang dan tinggi dengan
bentuk igir yang tumpul.
G. Pola Aliran
Pola
aliran sungai tidak dapat diidentifikasi karena hanya terdapat beberapa lembah
sungai yang teridentifikasi dari pengamatan stereoskopis foto udara pankromatik
hitam putih daerah Wonogiri 455 - 456.
Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa daerah ini memiliki kerapatan
drainase halus (<0,3). Lembah sungai yang teridentifikasi memiliki lembah
berbentuk U yang menunjukkan kekuatan erosi horizontal hampir sama dengan
kekuatan erosi vertikal. Pola vegetasi mengelompok, bentuknya teratur dan
berasosiasi dengan permukiman.
H. Penutup Lahan
Penutup lahan (land cover) didominasi oleh pemukiman yang
mengelompok. Selain itu terdiri dari vegetasi seperti sawah irigasi, dan lahan
kosong dibagian kaki bukit.
I. Potensi Risiko Bencana
1.
Longsoran
Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah
antara lain kemiringan lereng, sifat fisik batuan, kedudukan batuan, kondisi
keairan, penggunaan lahan, struktur geologi, kegempaan, dan aktivitas manusia,
dari beberapa faktor tersebut yang sangat berpengaruh adalah kemiringan lereng,
sifat fisik batuan, kedudukan batuan dan kondisi ke airan. Tingginya curah
hujan akan berpengaruh pula terhadap tingkat kejenuhan batuan/tanah, semakin
jenuh maka batuan akan mudah bergerak. Runtuhan batu atau longsoran
batu/tanah dalam skala kecil (< 25 meter2) secara setempat dapat terjadi,
terutama di perbukitan dengan kemiringan 25 % - > 40 %, hal ini dapat
diamati di ruas jalan yang memotong atau mengupas tebing bukit.
2.
Banjir
Jika intensitas hujan di hulu sangat
tinggi dan sungai tidak dapat menampung jumlah air yang mengalir maka sangat
mungkin terjadi bahaya banjir di daerah di bawahnya. Dalam hal ini dataran yang
berada di bawah bukit berpotensi banjir cukup tinggi.
J. Potensi SDA
Melihat
kondisi geologinya, Kabupaten Wonogiri banyak memiliki potensi di bidang
pertambangan terutama bahan galian non logam (golongan C) yaitu batu gamping,
kalsit, batuan andesit, tras, pasir kuarsa, pasir batu, batu bentonit, lempung
atau tanah liat, damar, kaolin, fosfat, oker, dan batu setengah permata.
Disamping itu dataran yang subur juga berpotensi
meningkatkan hasil produksi pertanian yaitu beras.
K. Planning
Melihat potensi sumber daya alam yang ada maka di daerah
Wonogiri dapat dikembangkan sebagai penghasil bahan tambang non logam. Perlu
usaha yang maksimal dari Pemerintah Kab. Wonogiri agar potensi ini dapat
dimanfaatkan bagi kemajuan Kabupaten Wonogiri itu sendiri. Pemerintah daerah
perlu mengajak investor untuk mengolah sumber daya alam itu menjadi produk yang
menghasilkan nilai ekonomi.
Daerah dataran Wonogiri mempunyai potensi bencana longsor
dan banjir. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha seperti konservasi
wilayah perbukitan.