Wednesday, June 11, 2014

Modul 1 (tugas individu)

Tabel Identifikasi Foto Udara Pankromatik Hitam Putih
Wilayah Upper Wonogiri
Objek
Identifikasi
Topografi
Datar
Berombak
Bergelombang
Perbukitan
Pola Aliran
Tidak ada
Kerapatan Drainase
<0,3 (halus)
Tekstur aliran
Halus
Pola vegetasi
Mengelompok berasosiasi dengan permukiman
Bentuk penampang aliran
bentuk "U"
Litologi
Aluvium (daerah datar-landai)
Andesit (daerah berombak-berbukit)
Iklim
Tropis
Struktur Geologi
Tidak ada
Kerekayasaan
Tidak ada
Tanah
Aluvial, Litosol

ALAT DAN BAHAN
1.    Stereoskop cermin
2.    Foto udara pankromatik hitam-putih skala 1:10.000 daerah upper wonogiri  (nomor foto 455 dan 456)
3.    Plastik transparansi, pencil OHP dan alat tulis lainnya

CARA KERJA
1.      Menempatkan 2 foto udara pankromatik (1 pasang) di bawah stereoskop cermin sedemikian rupa hingga diperoleh gambar 3 Dimensi.
2.      Menempatkan plastik transparan diatas salah satu foto citra udara.
3.      Menggambar jaring-jaring / alur-alur sesuai foto udara pankromatik yang terlihat pada strereoskop di atas plastik transparan dengan menggunakan pencil OHP.
4.      Mengamati dan mengenali seluruh satuan bentuk lahan dan fenomena geomorfologi yang tergambar pada citra udara.
5.      Mengenali masing-masing genesa bentuk lahan dan merinci lebih lanjut ke dalam satuan bentuk lahan
I.          DASAR TEORI
Bentuklahan (landform) merupakan bentukan pada permukaan bumi sebagai hasil perubahan bentuk permukaan bumi oleh proses-proses geomorfologi yang bekerja pada permukaan bumi tersebut. Untuk dapat menyajikan informasi bentuklahan perlu dilakukan klasifikasi kedalam satuan-satuan bentuklahan. Hal ini bertujuan untuk menyederhanakan bentanglahan yang kompleks yang terdapat pada permukaan ke dalam satuan-satuan yang sederhana yang didasarkan pada kesamaan sifat dan perwatakan bentuklahan (Dibyosaputro, 2001). Pada praktek pemetaan bentuklahan ini, kesamaan sifat dan perwatakan dapat disederhanakan dalam hal :
1.    Konfigurasi permukaan yang mencakup kesan topografi seperti dataran, berombak, bergelombang, perbukitan, pegunungan, dan ekspresi topografi yang menekankan pada ukuran seperti kemiringan lereng, bentuk lereng, panjang lereng, beda tinggi/relief dan bentuk lembah.
2.    Struktur geologi dan jenis batuan/material
3.    Proses geomorfologi yang menyebabkan terjadinya bentuklahan beserta perubahannya
Terdapat 3 kriteria untuk identifkasi dan pengenalan bentuklahan Verstapen (1977) yaitu :
1.    Bentuk atau relief, dapat diamati pada stereoskopis karena citra terlihat dalam bentuk 3 dimensi sehingga relief tampak lebih jelas dan memudahkan dalam pengamatan.
2.    Density, perbedaan densitas tampak dari warna yang mewakili objek yang terdapat pada citra, misalnya dataran yang tertutup vegetasi dengan dataran yang terbuka akan memiliki perbedaan rona, hal ini juga berlaku unuk kenampakan area yang lebih basah dengan area yang lebih kering.
3.    Lokasi, Pengamatan lokasi dapat diartikan sebagai situasi ekologi pada area yang diinterpretasi. Tutupan ekologi permukaan tanah yang terlihat melalui citra dapat dijadikan pendekatan untuk mengasumsikan fenomena yang berada dibawahnya terkait dengan jenis tanah atau tipe batuan.
Dalam menginterpretasikan bentuklahan terdapat tiga pendekatan pokok yang dapat digunakan, yaitu:
1.    Pendekatan pola, memilih salah satu wilayah sebagai satuan bentanglahan utama kemudian dirinci berdasarkan bentuk, alur, drainase, erosi serta vegetasi dan bentang budaya.
2.    Pendekatan geomorfologis atau fisiografis, pemilahan wilayah didasarkan pada genesis atau asal mula proses terbentuknya.
3.    Pendekatan unsur atau parameter bentuklahan, yaitu mempertimbangkan bentuk atau relief, density atau rona/warna, dan lokasi atau situasi ekologi bentanglahan.
Dasar-dasar yang dapat digunakan untuk mengenali dan menggolongkan bentuklahan dan bentanglahan pada citra adalah :
1.      Topografi
2.      Pola-pola pengaliran (drainase)
3.      Tekstur pengaliran
4.      Tipe parit (gully types)
5.      Rona citra dan tekstur citra
6.      Pola vegetasi
7.      Pola tata guna lahan
Ada 10 klasifikasi bentuk lahan berdasarkan genesisnya, Verstappen  (1983), yaitu :
1.    Bentuklahan asal struktural.
2.    Bentuklahan asal vulkanik.
3.    Bentuklahan asal denudasional.
4.    Bentuklahan asal fluvial.
5.    Bentuklahan asal marine.
6.    Bentuklahan asal glasial.
7.    Bentuklahan asal aeolian.
8.    Bentuklahan asal solusional.
9.    Bentuklahan asal organik.
10. Bentuklahan asal antropogenik.

II.        PEMBAHASAN
Praktikum pada modul I ini bertujuan untuk belajar mengidentifikasi suatu bentuklahan dari data penginderaan jauh. Dalam praktikum ini data yang digunakan adalah foto udara pankromatik hitam putih daerah Wonogiri. Foto udara pankromatik hitam putih merupakan salah satu sumber data yang dapat digunakan dalam pemetaan geomorfologi. 
Interpretasi foto udara pankromatik hitam putih dapat dilakukan dengan cara monoskopis maupun dengan cara stereoskopis. Pengamatan stereoskopis menggunakan foto udara pankromatik hitam putih berpasangan sehingga memberikan visualisasi 3D yang mempermudah dalam identifikasi litologi, morfologi, proses geomorfologi serta penutup & penggunaan lahan.
Parameter utama yang digunakan dalam pemetaan geomorfologi diantaranya adalah relief, pola aliran, dan vegetasi. Parameter ini dapat dilengkapi lagi dengan parameter lainnya sebagai pendukung pengamatan seperti tekstur aliran, pola penggunaan lahan, rona/warna, bentuk penampang aliran, iklim, struktur geologi, dan kerekayasaan. Pengamatan parameter tersebut digunakan untuk mendapatkan informasi karakteristik bentuk lahan yang lebih rinci. Berikut hasil interpretasi yang sudah dilakukan :


A.   Topografi
Dari Foto udara pankromatik hitam putih daerah Wonogiri (nomor foto 455 dan 456) di interpretasikan secara umum terbentuk 3 relief  diantaranya; berbukit, lembah dan datar. Relief dengan pola berbukit berkembang di bagian selatan hingga barat daya, sedangkan relief datar-landai terdapat pada bagian barat, utara dan timur.

B.   Morfologi
Daerah Wonogiri (nomor foto 455 dan 456) merupakan daerah yang memiliki morfogenesis fluvial tampak dari asosiasi antara sungai dengan dataran disekitarnya dan morfogenesis denudasional yang tampak dari adanya area yang memiliki morfologi bergelombang-perbukitan. Akibat aktivitas fluvial yang dominan pada daerah ini, daerah ini cenderung bermorfologi datar-berombak dan tersusun dari material aluvium. Sedangkan perbukitan yang memiliki morfologi bergelombang-perbukitan tersusun dari litologi andesit.

C.   Litologi/Geologi
Materi penyusun atau litologi dapat ditentukan melalui topografi dan pola alirannya. Pada daerah yang datar/landai litologinya adalah berupa tanah baru/belum berkembang. Pada daerah dataran banjir, dataran alluvial dan abandoned valley dimungkinkan ditemui tanah-tanah yang berasal dari material aluvium yang ditransportasikan oleh aliran sungai dari daerah hulu dan diendapkan di daerah ini. Tanah yang ditemui pada daerah dataran banjir, dataran alluvial dan abandoned valley cenderung tebal akan tetapi belum terbentuk horizon tanah melainkan hanya lapisan tanah. Sedangkan pada perbukitan, tanah yang mungkin ditemui juga berupa tanah muda/belum berkembang dengan material induk dari batuan andesit yang lapuk. Tanah yang ditemui di derah perbukitan tipis akibat proses erosi yang dominan.

D.   Bentuklahan
Bentuklahan yang terbentuk dapat diperinci sebagai berikut :
1.  Perbukitan Terkikis (denudasional)
Perbukitan terkikis ini merupakan hasil dari proses geomorfologi denudasional, yaitu  proses pelapukan, gerakan tanah, erosi dan kemudian proses pengendapan. Tingkat pengikisan pada masing-masing perbukitan berbeda-beda, hal ini dipengaruhi tingkat resistensi batuan pembentuknya. Pada daerah ini, perbukitan terkikis dalam 3 kelompok, yaitu perbukitan terkikis tinggi, perbukitan terkikis sedang dan perbukitan terkikis rendah.

2.  Dataran Aluvial
Bentuklahan yang terbentuk dari proses geomorfologi fluvial, berupa dataran yang terbentuk akibat endapan yang terbawa oleh aliran sungai. Pola aliran sungai pada bentuklahan ini adalah paralel dengan kerapatan vegetasi yang mengelompok. Penggunaan lahan yang dominan dijumpai pada bentuklahan ini adalah pemukiman.

E.   Proses Geomorfologi
Proses geomorfologi dapat dilihat dari parameter bentuk relief, pola aliran, dan vegetasi serta parameter pendukung seperti tekstur aliran, pola penggunaan lahan, rona/warna, bentuk penampang aliran, iklim, struktur geologi, dan kerekayasaan.
1.  Relief, dapat dikaitkan dengan bentuk igir, lereng, dan lembah. Kenampakan igir, lereng, dan lembah ini dideliniasi kemudian digunakan untuk membantu pengamatan parameter lainnya seperti pola aliran, tekstur aliran, dan vegetasi. Daerah Wonogiri ini secara umum dapat dikenali tiga jenis relief yang terbentuk diantaranya; berbukit, lembah dan dataran. Relief dengan pola berbukit berkembang di bagian timur hingga ke utara, sedangkan relief datar dan landai terdapat pada bagian barat laut.
2.  Pola aliran sungai, tidak dapat diidentifikasi karena hanya terdapat beberapa lembah sungai yang teridentifikasi dari pengamatan stereoskopis foto udara pankromatik hitam putih daerah Wonogiri. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa daerah ini memiliki kerapatan drainase halus (<0,3). Lembah sungai yang teridentifikasi memiliki lembah berbentuk U yang menunjukkan kekuatan erosi horizontal hampir sama dengan kekuatan erosi vertikal. Pola vegetasi mengelompok, bentuknya teratur dan berasosiasi dengan permukiman.
3.  Vegetasi,  pada area kajian dapat diasumsikan bahwa kerapatan vegetasinya yang mengelompok terdapat pada area bagian utara, dan barat dimana penggunaan lahan yang dominan adalah pemukiman.
4.  Litologi, dapat ditentukan dengan cara melihat topografi dan pola alirannya. Pada daerah yang datar/landai litologinya adalah aluvial dengan bentuk lembah U dengan igir membulat menandakan daerah ini kurang resisten.
Pengamatan secara keseluruhan pada proses geomorfologi adalah proses denudasional yang masih terkontrol oleh proses struktural. Sedangkan pada sebagian kawasan lainnya (sebelah utara) terjadi proses fluvial.  Pengamatan menunjukkan banyak terdapat igir dan lembah yang terbentuk dari proses geomorfologi struktural. Pembentukan igir dan lembah ini terjadi dari pengangkatan permukaan bumi yang dipengaruhi oleh tenaga endogen.

F.    Tanah
Pengamatan jenis tanah sebenarnya tidak cukup hanya berdasarkan interpretasi viasual pada foto udara pankromatik hitam putih saja. Namun sudah cukup mampu untuk merepresentasikan proses lithologi yang terjadi dengan mengamati pola vegetasi, penutup lahan, bentuk igir, bentuk lereng, dan bentuk lembah. Penentuan jenis tanah dengan interpretasi visual ini mengacu pada ketentuan yang ditulis dalam tabel jenis tanah utama di Indonesia dan ciri-ciri pokoknya (Supraptoharjo, 1960).
Penentuan jenis tanah dengan menggunakan interpretasi visual foto udara pankromatik hitam putih diperoleh 2 jenis tanah yang berkembang yaitu aluvial dan litosol. Aluvial berkembang pada satuan bentuk lahan fluvial dengan relief datar-landai. Materi aluvial ini berasal dari angkutan air permukaan dan sungai yang mengarah dari tempat dengan elevasi tinggi ke arah tempat dengan elevasi rendah. Pengangkutan materi ini menyebabkan penimbunan sehingga terbentuk dataran dengan material yang relatif halus dan berlapis-lapis. Litosol berkembang pada bentuk lahan perbukitan denudasional. Litosol memiliki lapisan solum tebal dan berkembang pada perbukitan yang mengalami pengikisan sedang dan tinggi dengan bentuk igir yang tumpul.

G.   Pola Aliran
Pola aliran sungai tidak dapat diidentifikasi karena hanya terdapat beberapa lembah sungai yang teridentifikasi dari pengamatan stereoskopis foto udara pankromatik hitam putih daerah Wonogiri 455 - 456. Berdasarkan informasi tersebut dapat diketahui bahwa daerah ini memiliki kerapatan drainase halus (<0,3). Lembah sungai yang teridentifikasi memiliki lembah berbentuk U yang menunjukkan kekuatan erosi horizontal hampir sama dengan kekuatan erosi vertikal. Pola vegetasi mengelompok, bentuknya teratur dan berasosiasi dengan permukiman.

H.   Penutup Lahan
Penutup lahan (land cover) didominasi oleh pemukiman yang mengelompok. Selain itu terdiri dari vegetasi seperti sawah irigasi, dan lahan kosong dibagian kaki bukit.



I.      Potensi Risiko Bencana
1.    Longsoran
Faktor penyebab terjadinya gerakan tanah antara lain kemiringan lereng, sifat fisik batuan, kedudukan batuan, kondisi keairan, penggunaan lahan, struktur geologi, kegempaan, dan aktivitas manusia, dari beberapa faktor tersebut yang sangat berpengaruh adalah kemiringan lereng, sifat fisik batuan, kedudukan batuan dan kondisi ke airan. Tingginya curah hujan akan berpengaruh pula terhadap tingkat kejenuhan batuan/tanah, semakin jenuh maka batuan akan mudah bergerak. Runtuhan batu atau longsoran batu/tanah dalam skala kecil (< 25 meter2) secara setempat dapat terjadi, terutama di perbukitan dengan kemiringan 25 % - > 40 %, hal ini dapat diamati di ruas jalan yang memotong atau mengupas tebing bukit.

2.    Banjir
Jika intensitas hujan di hulu sangat tinggi dan sungai tidak dapat menampung jumlah air yang mengalir maka sangat mungkin terjadi bahaya banjir di daerah di bawahnya. Dalam hal ini dataran yang berada di bawah bukit berpotensi banjir cukup tinggi.

J.    Potensi SDA
Melihat kondisi geologinya, Kabupaten Wonogiri banyak memiliki potensi di bidang pertambangan terutama bahan galian non logam (golongan C) yaitu batu gamping, kalsit, batuan andesit, tras, pasir kuarsa, pasir batu, batu bentonit, lempung atau tanah liat, damar, kaolin, fosfat, oker, dan batu setengah permata.
Disamping itu dataran yang subur juga berpotensi meningkatkan hasil produksi pertanian yaitu beras.

K.   Planning
Melihat potensi sumber daya alam yang ada maka di daerah Wonogiri dapat dikembangkan sebagai penghasil bahan tambang non logam. Perlu usaha yang maksimal dari Pemerintah Kab. Wonogiri agar potensi ini dapat dimanfaatkan bagi kemajuan Kabupaten Wonogiri itu sendiri. Pemerintah daerah perlu mengajak investor untuk mengolah sumber daya alam itu menjadi produk yang menghasilkan nilai ekonomi.

Daerah dataran Wonogiri mempunyai potensi bencana longsor dan banjir. Oleh karena itu perlu dilakukan usaha-usaha seperti konservasi wilayah perbukitan.

Sunday, September 29, 2013

Tugas Modul 9b

Final Examination Modul 9B :Coastal and Watershed Resources and Hazards Modeling

  1. Mention and explain five adaptation strategies (both in watershed and coastal area) conducted by local community to global warming impact.
a.      Adaptation to Coastal Erosion
The impact of global warming: Erosion occurring in coastal areas that have to damage settlements and existing infrastructure.
Adaptation strategies :
       Relocation of the affected settlements inland erosion
       Greening the coastal areas using coastal vegetation (mangrove and beach)
       The construction of facilities protection (protection) as seawall construction or reclamation
       Relocation of all critical infrastructures are exposed to erosion to areas that are not prone to erosion / landward
       Relocation of the affected pond erosion
b.      Adaptation to Sea Level Rise
The impact of global warming: sea level rise of 7.8 to 8 mm / year which caused widespread flooded areas and changes in wetland area and the lowland and the sinking of small islands.
Adaptation strategies :
       Rehabilitation of coastal vegetation (mangrove and beach) are affected by sea level rise and coastal afforestation areas using coastal vegetation (mangrove and beach)
       Planting of mangroves of the type that has a wide tolerance to changes in salinity, tidal variations and substrates such as Rhizophora sp.
       Relocation of settlements affected by sea level rise to a higher area / land
       Adaptation to the construction of houses on stilts if not possible to relocate residents
       Relocation of all critical infrastructure to higher ground / ground
       The construction of facilities protection (protection) as seawall construction or reclamation
       Diversification of aquaculture aquatic biota (aquaculture) appropriate / tolerant to environmental changes such as from shrimp farms to milk.
       Relocation of the affected ponds of sea level rise
c.       Adaptation to Flood
The impact of global warming: Increased areas prone to flooding caused by changes in rainfall patterns and hydrology.
Adaptation strategies :
       Rehabilitation of the existing drainage system
       The transfer of water between reservoirs / ponds / it will be able to balance the distribution of water from surplus areas to deficit areas
       Campaigning for the tree planting movement through various types of media whether it's television, radio, posters, flyers, billboards, etc.
       Planting trees en masse for example by creating urban parks, urban forests, and planting obligations for institutions, housing or other institutions
       Maintain and increase forest cover in the upstream and downstream river
       Maintain various means of water supply / water management in an integrated manner that emphasizes the importance of preserving the ecosystem
       Prohibit development on river banks and beaches.
d.      Adaptation for Tidal Wave
Impacts of climate change: The tides that occur with increasing frequency that is destroying the local settlements and other infrastructure.
Adaptation strategies :
       Relocation of settlements affected by tidal waves landward
       Adaptation to the construction of houses on stilts if not possible to relocate residents
       Greening the coastal areas using coastal vegetation (mangrove and beach)
       The construction of facilities protection (protection) as seawall construction or reclamation
       Relocation of all critical infrastructures are exposed to a tidal wave of areas that are not prone to tidal waves / landward
       Relocation of the affected farms tide
e.       Adaptation to the tidal inundation (Rob)
The impact of global warming: The high intensity of tidal inundation (rob) that goes deep into the mainland through the channel ponds, port facilities, highways, shops, offices, residential, and residential drainage systems and urban poor condition.
Adaptation strategies :
       Relocation of settlements affected by tidal landward
       Adaptation to the construction of houses on stilts if not possible to relocate residents
       Greening the coastal areas using coastal vegetation (mangrove and beach)
       The construction of facilities protection (protection) as seawall construction or reclamation
       Relocation of all critical infrastructures are exposed to a tidal area that is not prone to rob / landward

2.      Create a chart that illustrates disaster risk development on the coastal area. Explain your chart (in brief), and please consider both marine hazards and hazards coming from the upland area.
Answer :
Wilayah yang memiliki risiko terjadinya bencana di wilayah pesisir sangat bermacam-macam, kesemuanya terjadi berasal tekanan dari  laut yang mempengaruhi daratan diantaranya gelombang tinggi dan kenaikan permukaan air laut  sedangkan pengaruh dari daratan terhadap risiko bencana di pengaruhi oleh kerusakan ekosistem pesisir (mangrove dan terumbu karang), perubahan garis pantai (abrasi pantai) dan penurunan permukaan tanah. Pada grafik dibawah dijelaskan tentang trend kenaikan permukaan air laut (Sea Level Rise), kenaikan permukaan air laut merupakan ancaman terbesar dari pemanasan global dan perubahan iklim yang berasal dari laut yang mempengaruhi daratan dan mengancam kehidupan manusia maupun ekosistem. Untuk memprediksi kenaikan muka air laut di pesisir Kabupaten Tuban menggunakan pemodelan sehingga diperoleh proyeksi kenaikan air laut selama beberapa tahun ke depan sampai tahun 2050 untuk kawasan pesisir Kabupaten Tuban.

Data grafik kenaikan permukaan air laut di Kabupaten Tuban diambil dari penelitian Prediksi Kenaikan Muka Air Laut di Pesisir Kabupaten Tuban Akibat Perubahan Iklim (Haristyana. dkk, 2012) dengan menggunakan pemodelan MAGICC dengan scenario B2AIM dan A2AIM dengan prediksi kenaikan air laut mulai tahun 1980-2050, maka dapat diambil kesimpulan bahwa skenario yang sesuai dengan kondisi daerah pesisir Kabupaten Tuban adalah skenario B2AIM yang menghasilkan proyeksi kenaikan muka air laut sebesar 0.135 m pada tahun 2000, 0.297 m untuk tahun 2010, 0.54 m pada tahun 2020, 0.757 m pada tahun 2030, 1.08 m pada tahun 2040 dan 1.43 m pada tahun 2050.  



Grafik diatas menjelaskan prediksi penurunan permukaan tanah di kota Semarang mulai tahun 2010 sampai 2020. Penurunan tanah (Land subsidence) merupakan salah satu faktor dari darat yang beresiko bencana diwilayah pesisir, dari studi penurunan tanah yang dilakukan selama ini, diidentifikasi ada beberapa faktor penyebab terjadinya penurunan tanah yaitu : pengambilan air tanah yang berlebihan, penurunan karena beban bangunan, penurunan karena adanya konsolidasi alamiah dari lapisan-lapisan tanah, serta penurunan karena gaya-gaya tektonik. Dari empat tipe penurunan tanah ini, penurunan akibat pengambilan air tanah yang berlebihan dipercaya sebagai salah satu tipe penurunan tanah yang dominan untuk kota-kota besar tersebut. Grafik penurunan tanah dengan prediksi hingga tahun 2020 yang diambil dari penelitian Monitoring land subsidence in Semarang, Indonesia (Marfai dan King, 2007). Dengan hasil prediksi tahun 2015 pada daratan dengan elevasi 0.0-0.5m dibawah permukaan laut luas area yang tergenang 3.285.000 m2 , dan pada tahun 2020 menjadi 14.645.000 m2, sedangkan elevasi 0.5-1.0 m daerah yang tergenang tahun 2015 dan 2020 yaitu 1.870.000 m2 dan 6.067.500 m2, elevasi 1.0-1.5 m2 luas 252.500 m2 dan 1.277.500 m2, elevasi 1.5-2.0 m elevasi tahun 2015 dan 2020 yaitu 35.000 m2 dan 275.000 m2.

Berdasarkan hasil diatas, dua faktor penyebab resiko bencana diwilayah pesisir yang berasal dari laut dan darat, sehingga dapat disimpulkan  risiko bencana wilayah pesisir sangat besar, jika kedua faktor bahaya terjadi bersamaan maka akan mengakibatkan kerusakan yang parah diwilayah pesisir, dimana prediksi ketinggian permukaan air laut pada tahun 2020 mencapai 0.757 dan penurunan permukaan air tanah yang tergenang mencapai luasan 3.285.000 m2 pada elevasi 0.0-0.5 m dibawah permukaan air laut dan luas wilayah dengan ketinggian antara 0.5-1 m akan bertambah dengan luasan 1.870.000 m2 wilayah yang terendam banjir rob akibat kenaikan permukaan laut ditambah dengan penurunan permukaan tanah (Land subsidence)